Powered By Blogger

Rabu, 23 Maret 2011

Setetes Embun Pagi Yang Hilang

Setetes Embun Pagi Yang Hilang
Oleh : Niira Annisaa

Senja mulai merambah memeluk malam. Kala itu langit mendung, sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana langit sore begitu cerah. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku perlahan, mengingatkan aku pada dahsyatnya kuasa Tuhan. Tiba-tiba kilat membelah langit, suaranya menggelegar menusuk uluh hatiku. Aku masuk kedalam, ke rumah Ibu Ayu yang sudah ku tumpangi selama 4 hari. Ya, 4 hari ini aku sedang mencari bahan untuk skripsiku, dan inilah hari terakhirku menumpang dirumanya.
            Teman-temanku tampak sibuk menyiapkan ransel mereka untuk berangkat subuh nanti. Pemandangan lain yang aku lihat adalah Ibu Ayu, ia datang dengan membawa 5 cangkir teh hangat yang aroma segarnya langsung meyeruak kedalam lubang hidungku.
“Aduh sudah mau pada pulang ya?” tanya Ibu Ayu kepada kami sambil menyuguhkan teh hangat buatannya.
“Iya Bu, terima kasih banyak ya sudah mengizinkan kami tinggal disini selama 4 hari, pasti kami merepotkan sekali ya Bu,” ucap temanku Fira.
“Ah, tidak apa-apa Nak, Ibu sangat senang kalian menginap disini. Jadi ramai mendadak rumah ini, biasanya kan sepi,” Ibu Ayu tersenyum pada kami. Beliau memang hanya tingggal bedua dengan putra semata wayangnya di rumah ini setelah suaminya meninggal.
“Iya dong Bu, kita kan tukang bikin onar jadi kita selalu bikin gaduh deh disini,” ucap Anjar sambil tertawa.
Kami semua tertawa bersama, tapi entah kenapa aku tidak bisa tertawa lepas seperti biasanya, apa mungkin karena aku akan meninggalkan tempat ini? Ah entahlah, mungkin mood-ku saja yang sedang tidak baik. Teh hangat Ibu Ayu kami minum bersama, setelah habis aku dan Dewi segera membawa cangkir-cangkir itu ke dapur untuk dicuci.
***
            Praaaaaaang....... tiba-tiba cangkir yang sedang ku cuci pecah. Aku kaget bukan main.
“Ya Allah Sha, kamu nggak apa-apa?” tanya Dewi panik.
“Nggak apa-apa kok Dew,” jawabku sambil mebersihkan pecahan-pecahan cangkir itu.
“Jari kamu berdarah! Udah jangan diterusin, biar aku yang beresin!” ucap Dewi sambil menyuruhku mengobati luka di telunjukku itu. Aku pergi meninggalkan Dewi di dapur menghampiri Anjar yang membawa obat-obatan. Anjar mengobati lukaku dan aku segera masuk kamar.
***
Aku meninggalkan makan malamku, entah mengapa rasanya sangat tidak nafsu untuk makan. Aku mencoba tidur, tapi matakku enggan terpejam. Aku hanya berbaring menatap atap rumah itu, ah! tiba-tiba saja jadi teringat rumah dan ingin sekali pulang. Namun lama-lama akupun tertidur dan terbuai oleh bunga-bunganya yang indah.
***
Tepat pukul 04.00 aku terbangun, ternyata diantara kami berlima, akulah yang bangun paling terlambat, aku segera bergegas menyiapkan ranselku untuk pulang. Pagi ini perasaanku semakin tidak enak saja, rasa ingin pulangku jauh lebih manggebu-gebu, tak sabar rasanya menunggu pukul 05.00 yang padahal hanya berjarak 1jam dari waktu yang ditunjukkan jam tanganku sekarang.
Bagiku pagi ini begitu hening, bak tak ada kicauan burung juga pancaran sinar matahari seperti hari-hari sebelumnya. Gelap, sepi, benar-benar seperti mati pagi ini. Pukul 05.05 aku dan keempat temanku pulang setelah pamit dan mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ayu.
***
3 jam perjalan sudah aku lalui, kepalaku rasanya berat, perasaanku benar-benar tidak karuan, seperti ada yang mendesak-desak di uluh hatiku. Akhirnya turunlah kami berlima di sebuah terminal kota, lalu kamipun berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. Aku sudah malas naik angkot, hingga akhirnya aku putuskan untuk naik ojek saja ke rumah.
Rumahku tak begitu jauh dari terminal, hanya butuh waktu 15 menit dengan menggunakan ojek. Sepanjang perjalanan, angin paginya seolah memanggil aku untuk segera pulang, entah kabar apa yang diterbangkan angin itu, namun rasanya aku benar-benar ingin segera sampai dirumah.
***
Namun, betapa terkejutnya aku ketika pulang melihat rumahku ramai, semua mobil keluarga besarku terparkir rapi didepan rumah tanpa ada yang absen. “Ada apa ini?” tanyaku dalam hati. Dari pandang jauh rumahku terlihat gelap seperti tak memancarkan cahaya sedikitpun. Aku memandang lebih dalam, lalu berjalan sedikit ke arah rumah.
Air mataku jatuh begitu saja ketika melihat bendera kuning berkibar di depan rumah. Sebuah karangan bunga duka cita bertuliskan nama Ibu terpampang jelas di dekat pagar putih rumahku. Aku berlari meneriakkan kata “Ibu.......” sambil terus menangis. Adikku, Fathia menyambut kedatanganku dengan matanya yang sembab, wajah putihnya kini berona merah.
“Ibu sudah pulang kak,” ceritanya sambil memelukku dan tetap menangis.
“Kapan Thia? Kenapa gak kabari kakak?” tanyaku sambil mengusap kepala Thia.
“Kemarin sore ka, aku gak bisa hubungi kakak, lagipula aku tahu hari ini kakak pulang, jadi aku tunggu saja kakak pulang,” jelas Fathia sambil merangkulku masuk.
            Aku berjalan memasuki rumah, seluruh keluarga mengucapkan turut berduka kepadaku. Kini Ibu ada dihadapanku, aku peluk dan aku cium tubuhnya yang sudah mendingin. Tak lama, keluarga besarku memberi isyarat untuk segera membawa Ibu ke tempat istirahat terakhirnya.
Pagi itu seperti tak bernyawa. Tak ada lagi tetesan kasih sayang Ibu untukku, Fathia dan orang-orang yang Ibu kasihi. Aku membiarkan angin merasuk dalam ragaku, membiarkan suara-suara penghuni pemakaman itu berlalu di telingaku dan begitu saja melepas pandanganku ke sekeliling. Kini aku  merasa ada setetes embun pagi yang hilang dari ribuan tetes embun yang tersisa di daun-daun pemakaman selepas hujan semalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar