Powered By Blogger

Rabu, 23 Maret 2011

Ketika Aku di Titik Terlemah


Ketika Aku di Titik Terlemah


Oleh: Niira Annisaa

nb: Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen “Be Strong, Indonesia! #sembilan” yang diterbitkan oleh publishing house nulisbuku pada Desember 2010. Kumpulan cerpen ini didedikasikan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah bencana alam (Wasior, Merapi dan Mentawai)


Aku memandangi sisa-sisa hujan di daun itu. Memandangi lewat jendela kamar yang memisahkan aku dengan halaman tempat daun itu tertanam. Halaman yang menjadi saksi bisu tentang kebahagiaan hidup seorang gadis. Kebahagiaan tiada tara yang pernah tercatat dalam buku kehidupannya. Di halaman itu bukan hanya tumbuh bunga-bunga indah yang selalu dihinggapi kupu-kupu, tapi tumbuh pula sebuah kisah cinta yang abadi.
***
            Aku terbangun dari tidurku, lalu melihat jam bekerku yang sudah menunjukkan pukul 06.30.
“Ah sial! Kenapa bekernya nggak bunyi!” dengusku kesal.
Aku tidak membuang waktu, segera ku ambil handuk lalu mandi dengan cepat. Kalau tidak ada ulangan dan presentasi hari ini, mungkin aku memilih untuk tidak masuk sekolah saja.
“Rin, ayo turun! Sudah jam berapa ini? Kamu belum bangun juga?” teriak seseorang dari bawah sana.
“Bentar Ma… Karin telat nih, nanti juga turun kok!” balasku meneriakkan Mama dari lantai atas.
“Iya, ayo cepat!” perintah Mama.
***
“Aku berangkat ya Ma!” pamitku.
“Iya, hati-hati ya, Nak! Oh iya Rin, Mama mau pergi ke Yogya hari ini,”
“Berapa lama Ma?”
“Mungkin seminggu. Uang jajan kamu seminggu kedepan Mama transfer ke atm, ya?” jelas Mama.
“Oh, oke,” jawabku dingin.
“Sini Mama cium dulu,” ucap Mama.
“Ih Mama apaan sih, biasanya juga nggak pake cium-cium segala. Aku kan bukan anak kecil, Mama!” tolakku.
“Memang anak kecil saja yang boleh dicium sama Mamanya?” tanya Mama dengan nada kecewa.
“Ya enggak juga sih. Udah ya Ma, jangan bahas kayak ginian, Karin udah telat banget!”
            Aku meninggalkan Mama begitu saja. Dalam hatiku ada sedikit penyesalan menolak keinginannya tadi. Seharusnya aku tidak melakukannya. Aku pasti meninggalkan Mama dengan air mata yang jatuh dari matanya. Sebenarnya belum tentu, memangnya Mama masih peduli dengan aku? Hahaha, entahlah. Kenyataannya saja hubungan aku dengan Mama memang tidak begitu baik, bahkan buruk.
***
Seminggu kemudian..
Bel pulang sekolah berdering keras, aku dengan sigap segera merapikan tas dan bergegas pergi meninggalkan kelas. Aku segera menghampiri Pak Setyo yang sudah menjemput di gerbang sekolah.
“Non, kata Nyonya, habis jemput Non mampir dulu jemput Nyonya ke bandara.”
“Hah? Emang Mama pulang sekarang? Aku malas Pak kalau harus ke bandara dulu. Bapak antar aku ke rumah dulu deh, baru jemput Mama,” keluhku.
“Walah Non, kalau telat jemput nanti gimana?”
“Ih Bapak santai aja deh, nanti aku yang sms Mama. Ayo sekarang antar aku ke rumah. Aku capek banget, Pak. Please......”
“I..i..iya Non,” jawab Pak Setyo pasrah.
            Pak Setyo memutar arah laju mobilnya, akhirnya ia menuruti permintaanku untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Malas sekali kalau aku harus menjemput Mama ke bandara. Mama saja tidak pernah meluangkan waktunya untukku, jadi untuk apa aku meluangkan waktuku untuknya?
***
            Aku merebahkan diri di sofa ruang tengah, membayangkan wajah Mama yang sangat lelah, lalu segera tidur tanpa menjumpai anak semata wayangnya ini setelah ia tinggalkan selama satu minggu. Air mataku meleleh membasahi pipi. Ini bukan pertama kalinya aku menangisi hubunganku dengan Mama yang tidak baik. Sakit? Tentu saja rasanya sakit, bagaimana tidak, aku selalu iri mendengar cerita teman-temanku yang bisa menghabiskan banyak waktu mereka bersama orang yang paling mereka kasihi, yaitu Ibu. Sedangkan aku? bertemu dalam rumah saja jarang, apalagi bercerita dan bercengkrama?! Sejak Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai,  hidupku berantakan, hanya itulah yang bisa aku rasakan sampai saat ini.
Perceraian mereka enam tahun lalu, membuat aku tumbuh menjadi pribadi yang keras dan cenderung ingin memiliki dunia sendiri. Jelas saja, sejak tragedi itu Mama tidak pernah lagi meluangkan waktunya untukku. Hal yang menjadi kewajiban Papa dulu kini beralih kepada Mama. Mama yang semula punya banyak waktu untuk memperhatikan perkembanganku, kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kemajuan karir, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana ia memiliki uang banyak untuk terus menyekolahkanku. Memang itu penting, tapi aku rasa seharusnya kebahagiaanku jauh lebih penting. Egois? Mungkin iya. Kalau saja aku bisa bicara pada Mama, aku kan bicara: “Ma, bukan ini yang Karin mau, Karin cuma mau Mama bukan uang Mama, bukan harta Mama, bukan kehidupan mewah dari Mama. Karin cuma mau Mama punya waktu untuk Karin, dan Mama sayang sama Karin seperti waktu kita masih bersama Papa.” Air mataku terus jatuh. Kenapa aku harus menangisi ini lagi? Sudah enam tahun Mama membiarkan aku seperti. Oh Tuhan...
***
            Aku mengangkat kepalaku, bangun dari rebahanku yang membuat aku kembali menjadi seorang gadis lemah. Aku mengusap air mataku yang membanjir, lalu berjalan menuju halaman belakang untuk me-refresh-kan pikiran.
“Karin,” sapa seseorang.
“Mama? Udah pulang? Tumben nyamperin Karin dulu, biasanya langsung masuk kamar terus tidur deh,” celetukku.
“Karin.. Kok kamu ngomongnya gitu?” tanya Mama dengan nada kecewa.
“Ya, biasanya juga Mama gitu. Berapa tahun sih Karin hidup sama Mama? Jelas banget Karin hafal kebiasaan Mama!” jawabku cuek.
“Eh iya, ini oleh-oleh buat kamu, maaf ya Mama Cuma sempat beli ini, habis Mama disana meeting terus, jadi nggak sempet jalan-jalan,” jawab Mama mengalihkan pembicaraan sambil memberikan sebuah miniatur candi Borobudur kepadaku.
“Ya, Karin tahu kok Ma. Seharusnya Mama bisa beli oleh-oleh yang lebih bagus dari ini, tapi ya Mama kan sibuk, jadi cuma bisa beli ini aja deh.”
“Karin, kamu kenapa sih, Nak?” tanya Mama sambil membelai rambut ikalku.
“Apa sih Ma, Karin bukan anak kecil. Udah ya Ma, Karin mau mandi, mau siap-siap les,” jawabku sambil pergi meninggalkan Mama.
Buruk? Ya, seburuk itulah hubunganku dengan Mama.
***
            Hari ini hari Minggu, seperti biasa jam 6 aku sudah siap untuk pergi jogging.
“Rin, nggak sarapan dulu?” tanya Mama.
“Nanti deh Ma habis jogging aja, Karin belum lapar.”
“Ya udah, nanti sarapan sama Mama ya? Sekarang Mama mau masakin makanan kesukaan kamu, cumi rica-rica.”
“Emang Mama nggak kerja?”
“Enggak sayang, Mama hari ini ada buat kamu,” jawab Mama sambil melemparkan senyum.
“Oke Ma,” jawabku tetap dingin.
            Aku meninggalkan rumah, lalu mulai berpikir, “Ada apa dengan Mama? Kenapa tiba-tiba Mama berubah?” Ah, pasti itu tidak akan bertahan lama, pasti hanya hari ini saja. Aku yakin Mama tetap lebih mencintai pekerjaannya dari pada aku. Aku terus meyakinkan diriku akan hal itu, namun entah apa yang merasuki pikiranku, tiba-tiba kini aku merasa persepsiku tentang Mama selama ini mulai pudar sedikit demi sedikit. Pandangan negatifku mulai berubah jadi positif. Yang lebih hebat, aku merasa ingin segera pulang untuk menyantap cumi rica-rica buatan Mama yang sudah enam tahun tidak pernah aku nikmati.
***
            “Eh kok udah pulang, sayang?” sambut Mama.
“Panas Ma, jadi aku pulang lebih cepat.”
“Memangnya panas ya? Kelihatannya mendung ah. Hem, Mama tau, pasti udah nggak sabar makan cumi rica-rica buatan Mama ya? Iya kan?” tanya Mama dengan nada ceria.
“Apa sih Mama, emangnya masakan Mama masih enak? Mama kan udah jarang masak,” jawabku dengan nada bercanda.
Mama tertawa, lalu segera menyelesaikan masakan itu untuk segera disajikan kepadaku. Entah mengapa, sekat yang membentang di antara aku dan Mama selama enam tahun ini seperti lepas begitu saja. Dan kalau boleh jujur, aku sangat merindukan momen-momen seperti ini.
***
            Mama berjalan ke arahku dari dapur sambil membawa cumi rica-rica yang aromanya telah menusuk hidungku sejak tadi sebelum matang.
This it is, cumi rica-rica ala Mama Karin,” ucap Mama dengan nada ala Chef Farah Quin.
Aku tertawa dan dengan lahap menghabiskan sepiring cumi rica-rica yang Mama buat dengan cintanya. Mengapa dengan cinta? Jelas, karena rasanya jauh lebih enak dari cumi rica-rica di restoran termahal sekalipun. Cinta dan kasih sayang Mama yang aku rindu, seolah-olah kembali melalui sepiring cumi rica-rica itu.
            Aku memandangi Mama, pipinya basah oleh air mata. Aku tidak menyadari bahwa Mama memperhatikan aku makan sejak tadi, lalu ia menjatuhkan air matanya. Tapi kenapa? Kenapa Mama menangis?
“Mama... Kok Mama nangis?” tanyaku penuh rasa bersalah.
“Nggak apa-apa Karin, Mama senang sekali bisa liat kamu makan selahap itu lagi,” jelas Mama sambil membiarkan air matanya terus mengalir.
Aku menghampiri Mama, lalu memeluknya setelah terakhir aku melakukan itu ketika hari Ibu enam tahun silam. Aku menangis, menyesali semua sikap dingin dan acuhku pada Mama selama ini.
“Maafin Karin ya Ma, setelah perceraian Mama sama Papa, Karin justru jadi dingin sama Mama. Karin justru acuh sama Mama, nggak peduli sama Mama. Maafin Karin Ma,” ucapku sesal.
“Kamu nggak salah kok sayang, Mama yang salah karena terlalu sibuk sama pekerjaan Mama sampai Mama nggak punya waktu buat kamu. Mama minta maaf ya, sejujurnya Mama ngelakuin ini semua semata-mata buat kamu,” ucap Mama sambil mencium keningku.
Kami terus terlarut dalam suasana haru, suasana haru yang seharusnya bisa dinikmati setiap hari. Namun, selama enam tahun, suasana ini tidak pernah tercipta dalam rumah kami.
“Eh kita ke halaman belakang yuk? Mama baru beli bunga mawar, dan Mama mau tanam itu sebagai tanda cinta kita berdua. Jadi kita harus tanam berdua? Gimana? Mau kan kamu?” ajak Mama.
“Mau Ma, mau banget, yuk!”
Mama merangkulku, lalu kami berjalan menuju halaman belakang. Kami bercanda dalam taman kecil di rumah kami itu. Rasanya semua kupu-kupu disana ikut menari merayakan kebahagiaan kami. Taman itu penuh cinta dalam sekejap. Mama terus merangkulku, menciumku dengan penuh kasih sayang. Kami menumpahkan kerinduan kami akan keharmonisan yang mati sejak tragedi enam tahun silam. Aku terus memeluknya, berharap kebersamaan ini tidak akan pernah mati dan akan terus hadir diantara aku dan Mama.
***
Hari ini aku memtuskan untuk tidur dengan Mama. Aku sangat rindu ketika Mama mendongengkan aku sebelum tidur. Aku sangat rindu ketika Mama menarik selimut untuk menghangatkan tubuhku, lalu menciumku dan mengucapkan “selamat malam anakku sayang, mimpi indah”.
“Tidur yang nyenyak ya sayang, semoga hari esokmu menyenangkan. Ketahuilah bahwa Mama sangat menyayangimu, sampai Mama matipun, kamu lah harta Mama yang paling berharga,” ucap Mama sambil mencium pipi dan keningku.
“Karin juga sayang sama Mama, peluk Karin ya Ma..”
***
            Pagi menjelang, aku masih berada dalam dekapan Mama yang begitu hangat. Aku membangunkan Mama. Aku menyentuh tangannya, dingin. Aku panik. Aku sentuh wajahnya, dingin. Aku makin panik. Aku simpan tanganku dekat lubang hidungnya, tidak ada hembusan nafas. Air mataku jatuh.
            Aku tidak pernah menyangka kebahagiaan itu berlangsung hanya kurang dari 24 jam. Aku tidak menyangka bahwa kebahagiaan itu adalah saat-saat terkahir aku dengan Mama. Air mataku terus meleleh tanpa henti.
***
            Air mataku jatuh. Tidak kalah hebat dengan air mataku yang jatuh ketika aku harus menerima kenyataan bahwa Mama meninggalkanku begitu cepat. Kala itu aku sangat terpuruk. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku jadi sebatang kara. Aku masih punya Papa, tapi entah dimana Papa dan apakah Papa masih mengingat aku. Aku sadar, life must go on! Aku tidak mungkin terus berdiam dan membiarkan hidupku ikut mati bersama kematian Mama.
            Seketika itu aku bangkit. Aku kembali menata hidupku. Dan itu lah sebabnya aku masih bertahan hingga hari ini. Aku berjalan ke taman kecil itu. Memandangi mawar yang pernah kami tanam. Mengenang kebersamaan kami, cinta kami dan ikatan kami yang tidak akan pernah mati.
“Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus bangkit dan tetap tegak berdiri. Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus berusaha untuk bangkit dan berlari ke titik tertinggi. Ketika aku di titik terlemah, maka aku harus mengingat dan percaya, bahwa Tuhan selalu bersamaku.”
***


2 komentar:

  1. alur ceritanya sebenernya agak ketebak hehe, tapi bagus jadi ceritanya tuh rada ketebak tapi di dramatisir, jadi bagus ceritanya hehe
    saya kira tadinya si mama nya bakalan mati pas masih di yogya hehe, overall, ka nira emang penulis handal :)

    BalasHapus
  2. makasii banyak ya kritik dan sarannya :)
    masih pemula, masih harus banyak belajar :))
    awawaw jangan dibilang gitu ah :3 saya mah belom ada apa2nya :D tapi doain aja yaaaaa :))

    BalasHapus