Powered By Blogger

Rabu, 23 Maret 2011

Cerita Lama


Cerita Lama
Oleh : Niira Annisaa

            Semula aku hanya melirik, lalu mulai memandangi. Hatiku teriris, aku sangat yakin tidak akan pernah sanggup untuk menyentuhnya. Menyentuhnya hanya akan mengangkat masa laluku yang silam. Namun entah mengapa, benda itu seolah menghipnotisku, membuat tanganku tiba-tiba saja tergerak. Ya, tergerak untuk meraihnya, sebuah album usang yang terselip diantara beberapa album lainnya. Album itu benar-benar terlihat tua, warnanya saja yang semula putih kini nyaris menjadi coklat. Wajar, album itu telah hampir 15 tahun tidak pernah ku jamah. Lagi, entah kekuatan magic apa yang merasuki album itu, kini hipnotisnya terasa semakin dalam. Tanganku kini menggenggam, lalu membukanya.
***
            Air mata kami jatuh, entah haru karena kelulusan, atau sedih karena perpisahan. Ya, hari itu adalah hari kami diwisuda. Hari itu kami resmi lulus dari SMA, menanggalkan seragam putih-abu kami dan bersiap terjun menjadi seorang mahasiswa. Kini kisah-kisah indah itu telah siap tercatat menjadi sebuah kenangan, entah teringat, atau bahkan terlupa.
            Aku memandangi detail setiap sudut sekolah dan merekamnya tajam-tajam dipikiranku. Aku rasa aku tidak akan pernah melupakan semuanya. Tawa, canda, senyum, jeritan histeris, tangisan haru bahkan teriakkan kemenangan hari ini, sudah jelas tidak akan pernah terlupa. Mataku kini terpaku pada dua orang wanita dihadapanku. Shofi dan Yara, ya merekalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki sepanjang masa. Aku memeluk mereka, menangis haru juga tersedu, karena kebahagiaan yang harus berakhir dengan perpisahan.
***
            Aku masih menunggu teman-teman datang, datang untuk mendoakan perjalanan panjangku menuntut ilmu di negeri orang. Aku terharu, ternyata mereka masih peduli kepadaku, selepas perpisahan kemarin mereka tidak melepasku begitu saja. Mereka masih menganggap aku ada, dan bahkan mereka tak ingin aku meninggalkan mereka.
            Diantara puluhan orang yang memenuhi rumahku, sejujurnya ada seseorang yang aku tunggu. Aku berharap ia datang, namun entah ia akan datang untukku atau tidak. Namanya Galang, pria sebaya denganku, mungkin lebih tepatnya temanku. Ya teman yang cukup istimewa bagiku, bukan sekedar cukup, bahkan sangat istimewa.
“Gy, ayo kita siap-siap berangkat,” ajak Ibu yang tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku tentang sesosok Galang.
“Iya Bu, sebentar ya, aku pamit dulu sama teman-teman.”
“Ya sudah, Ibu tunggu di mobil ya!”
            Aku berjalan menghampiri teman-teman, lalu menyampaikan salam perpisahan. Aku berusaha rela melepas semua ceritaku bersama mereka. Melepas keindahan masa-masa remajaku di kota ini.
“Gy, foto-foto dulu yuk!” ajak Sarah salah satu temanku.
“Boleh Sar, aku suruh supirku aja yang fotoin kita ya, biar semuanya ada dan akan aku cetak besar supaya bisa dipajang di kamarku nanti.”
Sarah hanya menganggukan kepalanya lalu tersenyum dan berlari kearah teman-teman yang lain.
***
            Agy.. hati-hati ya disana, jangan lupain kita..
Mungkin kata-kata itulah yang akan sangat aku ingat dan terus berputar ulang di telingaku. Mendengar suara itu sambil membayangkan wajah mereka rasanya sangat berat. Apalagi satu harapanku hilang. Aku sudah duduk di dalam mobil dan Galangpun tak kunjung datang. Coba saja Tuhan memberikku satu kesempatan untuk meminta dan mengabulkannya. Mungkin aku akan meminta kepada Tuhan untuk membawa Galang kehadapanku saat ini juga. Tapi sayang, itu mustahil.
            Aku menurunkan jendela mobil, lalu melambaikan tangan pada mereka semua. Mereka yang berharga, mereka yang tiada dua, mereka yang luar biasa dan mereka yang terindah. Air mataku jatuh lagi. Entah telah berapa banyak air mata yang terjatuh sejak perpisahan kemarin hanya untuk menangisi perpisahanku dengan mereka. Aku sedih, tentu saja.
***
“Agy!”
Aku menoleh ke arah suara itu berasal.
“Galang??” jeritku dalam hati. Dia datang? Aku kira ia lupa kalau hari ini aku akan pergi meninggalkan Indonesia. Sebenarnya bukan hanya kedatangan Galang yang aku tunggu, tapi juga hatinya. Aku memang menyukai Galang, tapi dia? Sepertinya tidak mungkin dia menyukaiku. Sudahlah, lupakan itu. Yang penting ia datang.
            “Galang? Kenapa kamu baru datang?” tanyaku.
“Maaf ya, tadi aku beli ini dulu buat kamu. Hati-hati ya, aku tunggu kamu pulang. Karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” jelas Galang sambil menyodorkan kotak berwarna coklat, yang entah isinya apa, mungkin kenang-kenangan untukku.
“Kenapa nanti?” tanyaku kembali.
“Nanti juga kamu akan tahu.
“Iya. Tunggu aku.”
Itulah kata-kata terakhir yang terucap dari mulutku untuk Galang. Galang akan menungguku, tapi untuk apa?
***
Sydney Internatioanal Kingsford Smith Airport, 10 Mei 1992
Aku berdiri di terminal internasional 1 untuk pulang ke Indonesia dengan penerbangan Garuda Indonesia. Sebenarnya aku tak sabar mengabari Shofi dan Yara bahwa aku akan segera tiba di tanah air lebih awal, tapi aku ingin membuat kejutan bagi mereka berdua jadi aku tunda saja. Oh ya, satu hal lagi, aku juga tak sabar untuk menemui Galang dan menagih janjinya padaku.
***
Aku merebahkan diri di sofa, sambil memikirkan bagaimana caranya mengetahui kabar Galang setelah enam tahun ku tinggal ke Australia. Enam tahun ini aku tidak pernah mengontak Galang sama sekali. Aku memandangi figura yang berisi fotoku dengan Galang, bingkai yang menjadi kenang-kenangan dalam kotak coklat yang Galang berikan padaku sesaat aku hendak pergi menuju bandara. Foto itu diambil ketika kami pergi bersama teman-teman ke Yogyakarta. Hem. Seandainya saja Galang tahu kalau aku menyukainya. Dan bahkan sampai saat ini perasaanku tidak pernah berubah. Aku tetap menunggunya, berharap suatu hari ia akan datang ke rumah untuk melamarku. Mungkinkah? Mungkin saja.
 “Gy, Ayah mau ngomong sama kamu,” panggil Ayah membuyarkan lamunanku.
 “Ada apa, Yah?” tanyaku penasaran.
“Maafkan Ayah ya Nak sebelumnya, Ayah tidak pernah bermaksud membatasimu atau apalah itu istilahnya. Ayah hanya ingin memberikan sesuatu yang baik untukmu Nak,” terang Ayah yang sejujurnya membuatku bingung.
“Maksud Ayah?”
“Ayah, mau menjodohkanmu dengan anak teman Ayah. Sore ini dia akan datang menemuimu. Apa kamu bersedia?”
Aku terkejut. Sangat terkejut. Mengapa Ayah dan Ibu tidak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya? Aku mulai berpikir, usiaku memang sudah sangat matang untuk menikah, dan pilihanku? Aku tidak punya pilihan! Aku hanya melakukan hal bodoh selama enam tahun ini dengan berharap bahwa Galang akan datang dengan cintanya.
Sebenarnya aku tengah menunggu seseorang Yah, tapi biarlah, aku tidak yakin dia akan datang kepadaku,” jawabku ikhlas dan pasrah tentu saja.
“Ya sudah, kamu temui dulu saja orangnya ya?”
“Baiklah,”
Ayah dan Ibu hanya memandangku, lalu segurat garis lengkung tergores di wajah keduanya.
***
            Aku duduk manis di sofa, menunggu pria yang akan ayah jodohkan denganku datang ke rumah sore itu. Gugup, itu yang aku rasakan selama menunggu kehadiran-‘nya’. Jujur saja aku masih berharap pria itu adalah Galang, satu-satunya pria yang aku harap menjadi pasangan hidupku. Bodoh? Mungkin begitu, betapa bodohnya aku menanti dia sedangkan aku tidak pernah tahu bagaimana perasaannya kepadaku.
            Tiba-tiba seorang pria datag menerobos hujan yang turun sore itu menuju pintu rumahku.
“Pak, ditunggu Pak Handira di rumah sakit, Den Galangnya kecelakaan!” ucap pria itu terburu-buru.
“Galang kecelakaan?? Ya sudah ayo kita langsung ke rumah sakit!” jawab Ayah.
Galang? Galang yang dimaksud itu siapa? Calon pria yang akan dijodohkan denganku? Pasti. Tapi, apa mungkin ia Galang yang selama ini aku harap-harapkan? Ya Tuhan, kalau memang itu Galang kenapa seperti ini pertemuannya? Aku diam sepanjang perjalanan dan hanya bisa berharap Galang baik-baik saja.
***
            “Bagaimana Bu keadaan Galang?” tanya Ibu ketika menemui wanita dengan kebaya coklat keemasan setibanya di rumah sakit.
“Galang ada di dalam Bu,” jawab wanita itu.
“Yah, Galang itu siapa?” tanyaku pada Ayah perlahan.
“Galang itu pria yang akan ayah jodohkan denganmu Gy,” jawab Ayah.
“Boleh aku melihatnya, Yah?”
“Masuklah Nak, Galang sudah menunggumu sejak tadi,” jawab wanita tadi sambil tersenyum padaku.
            Aku memasuki kamar rawat dengan nomor 234 itu. Di dalam sana ada dua orang pria berjas rapi dan seorang lagi yang terbaring di atas ranjang dengan banyak perban di wajahnya. Jantungku terus terpompa seiring langkahku yang semakin dekat dengan pria itu.
“Galang?” ucapku shock ketika melihat pria itu ternyata benar Galang.
“Agy..” ucapnya perlahan.
“Tadinya hari ini kami sekeluarga akan datang melamarmu Nak, tapi Tuhan berkehendak lain. Maafkan kami ya Nak,” jelas Ayah Galang.
Aku hanya mengangguk sambil menangis haru. Galang masih selamat saja sudah merupakan anugerah bagiku. Seandainya Tuhan merenggut Galang melalui kecelakaan itu? Mungkin aku tidak akan pernah bertemu Galang lagi. Terima Kasih Tuhan.           
***
            Air mataku jatuh dengan derasnya. Bahkan jika aku bercermin, mungkin aku akan mendapati mataku yang telah merah dan sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Kenangan indah itu terlintas begitu jelas di pikiranku. Kenangan indah dan masa-masa paling bahagia di sepanjang hidupku yang takkan pernah bisa aku rasakan lagi.
Aku menikah dengan Galang pada 9 Maret 1993, kurang lebih 9 bulan setelah aku menerima lamarannya di rumah sakit. Kami hidup bahagia sebagai pengantin baru dan benar-benar menikmati kebersamaan kami. Kami menghabiskan waktu kami setiap hari layaknya pasangan-pasangan muda yang sedang dimabuk cinta. Namun sayang, kebersamaan itu tidak berlangsung lama, pada Mei 1995 Tuhan memanggil Galang lewat kecelakaan mobil yang menimpanya sesaat dalam perjalanan menjengukku yang baru saja melahirkan putra pertama kami. Sejak mengetahui itu aku shock berkepanjangan. Setahun pertama aku tidak pernah bisa menerima kepergiannya. Namun akhirnya aku sadar bahwa putra kecilku membutuhkan seorang Ibu yang tangguh untuk membesarkannya. Akupun bangkit.
Itulah alasannya mengapa album usang ini tak pernah ku jamah. Menjamahnya hanya membuat aku shock dan bersedih mengingat semua kenangan tentang masa SMAku, Galang dan juga cintanya yang terbingkai indah pada album itu. Bagiku Galang tidak akan pernah terganti oleh siapapun, dan aku yakin bahwa aku sanggup menunggu waktu dimana Tuhan memanggilku dan mempertemukanku kembali dengannya disana.

Sejak SMA. Aku diam-diam mencari tahu tentang kamu melalui Shofi, dan yang membuatku terkejut adalah ketika mengetahui bahwa Ayahmu dan Ayahku adalah rekanan bisnis. Suatu hari aku dikenalkan oleh Ayah kepada Ayahmu, dan tanpa ragu aku telah memintamu melalui Ayahmu jauh-jauh hari sebelum kamu pergi ke Australia. Tidak mungkin bukan jika saat perpisahan itu aku langsung melamarmu? Jadi aku menyusun rencana untuk hari ini sejak lama sekali. Bahkan semua rencana ini telah diketahui oleh Ayah dan Ibumu. Agy.. aku sangat mencintaimu, dan yang aku inginkan hanyalah dirimu untuk menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak.. 10 Mei 1992 –Galang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar