Powered By Blogger

Rabu, 23 Maret 2011

Apa Salahku, Sya?


Apa Salahku, Sya?
Oleh : Niira Annisaa

Dari kejauhan ku lihat tubuh semampai dan rambut hitam panjang itu menghiasi koridor kelas, ya sahabatku Tasya datang dengan mengenakan tas batik kesayangannya. Namun, wajahnya sedikit kecut, tak ramah seperti biasanya. Alisnya yang tebal sedikit naik menandakan seperti ada amarah dalam dirinya. Aku segera menyapanya, berharap ia akan membagi ceritanya denganku.
“Sya, kenapa kamu pagi-pagi mukanya udah kecut gitu?” tanyaku pada Tasya.
“Lo gak usah banyak nanya deh, cukup tau ya gue ternyata selama ini lo tuh cuma manfaatin gue buat kesenangan lo!” jawab Tasya sinis.
“Loh? Ini ada apa sih? Emang aku salah apa Sya?” tanyaku bingung.
“Udah lah, lo pikirin aja apa kesalahan lo, gak usah sok polos dan pura-pura gak tau apa kesalahan lo! Gue udah gak niat sama sekali buat dengar pembelaan lo!” jawab Tasya sambil membawa tasnya untuk pindah duduk di kursi belakang.
Aku tak kuasa lagi membendung air mataku, air mata itu jatuh dengan sendirinya. Namun tak lama Bu Marie datang, maka ku sapu air mata itu dengan segera.
***
            Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat tiba. Aku berlari menuju taman belakang sekolah untuk menegeluarkan air mata yang sejak tadi mendesak-desak keluar dari pelupuk mataku. Ketika aku sedang duduk, seseorang datang menghampiriku.
“Kamu kenapa Nan?” tanya Silvi yang selalu tenang dalam menghadapi masalah.
“Aku sedih Vi, tadi pagi tiba-tiba Tasya marah-marah gitu ke aku. Aku salah apa ya Vi sama dia?” jelasku sambil terus menangis.
“Udah, udah, jangan nangis terus dong. Nangis itu gak akan nyelesain masalah loh, gimana kalau kamu ngomong baik-baik sama Tasya, nanti aku bantu. Ya... walaupun aku tahu Taysa memang agak keras kepala dan susah diomongin.”
“Tadi aku udah coba tanya baik-baik sama dia Vi, tapi jawabannya jutek gitu. Sama apa kayak kata kamu, keras kepala.”
Vivi memelukku, rupanya ia juga sangat sedih melihat kedua sahabatnya bertengkar. Aku, Tasya dan Silvi sudah sangat lama bersahabat. Kami hidup sandar menyandar, sangat akrab sekali. Meskipun kami memiliki karakter yang berbeda-beda, kami tetap bisa bersatu dengan ketidaksamaan itu.
***
            Setibanya di rumah, aku segera masuk ke dalam kamar lalu membaringkan diri di kasur sambil memeluk boneka doraemon kesayanganku. Aku menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong, tiba-tiba jadi teringat kejadian tadi pagi. Aku seperti diiris sembilu, sedih sekali. Aku merasa semuanya seperti mimpi, aku tak percaya bahwa Tasya yang selama ini aku kenal sebagai orang yang lemah lembut dan sangat menyayangi aku, bisa bersikap sekasar tadi. Air mataku leleh lagi, kini lebih dahsyat karena memori-memori tentang aku dan Tasya berlalu-lalang begitu saja dalam anganku. “Aku harus selesaikan ini!” tegasku dalam hati. Kuraih handphoneku lalu ku kirim sms pada Tasya.
Tasya sahabatku yg paling baik..
Ak benar2 gak tau ak salah apa sm km, ak merasa ak gak pernah menyakiti km, berniat aja gak pernah. Sungguh. Kalau memang tanpa sengaja ak nyakitin perasaan km, ak minta maaf Tasya L
Aku menunggu balasan darinya, namun apa yang ku lakukan nampaknya sia-sia. Hingga larut malam, Tasya tak kunjung membalas smsku. Demi menyelesaikan masalah ini, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Tasya. Namun, lagi-lagi semuanya nihil, tak menghasilkan apa-apa. Aku semakin sedih, air mataku jatuh dan jatuh lagi, hingga akhirnya aku tertidur bertilam air mata.
            Aku membuka mata, berharap pagi ini lebih baik daripada kemarin. Berharap Tasya sudah membaik, tidak lagi se-jutek kemarin. Dari kejauhan ku lihat Silvi berjalan ke arahku, dengan wajah sedikit redup ia tetap ramah memandangi setiap titik yang ada disekitarnya.
“Aku udah tanya sama Tasya, tapi Tasya gak jawab apa-apa,” jelas Silvi memasang muka pasrah.
“Memang dia ngomong apa ke kamu?” tanyaku.
“Dia malah ngomel-ngomel gak jelas. Pokoknya ngejelek-jelekin kamu gitu Nan, dia bilang dia benci banget sama kamu.”
“Ya Tuhaaaaaaaaan........” aku menagis lagi dan kali ini sampai tergugu.
Silvi memelukku lagi, mengusap air mataku yang membajiri pipi dan tanganku dengan tisu dari sakunya.
“Udah ya Nan, nanti kita cari jalan keluar lain.”
***
            Bel berbunyi 4x, menandakan waktu KBM telah berakhir. Aku berjalan dengan tatapan kosong, wajah pucat dan mata yang membengkak. Dari kejauhan ku dengar Silvi meneriakkan namaku.
“Nandaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriak Silvi.
Aku segera membalik badanku.
“Kata Tasya, dia mau ketemu sama kamu,” jelas Silvi dengan wajah yang sedikit lebih cerah.
“Sungguh? Kapan? Dimana?” tanyaku dengan ekspresi bahagia.
“Nanti sore jam 4 di tempat kita biasa makan es krim. Gak boleh telat katanya, kalau telat dia gak akan maafin kamu.”
“Oke, kamu bisa jemput aku kan?”
“Iya bisa, nanti aku jemput kamu ya jam 3. Yuk sekarang kita pulang.”
Aku berjalan dengan lukisan senyum di wajahku.
***
            Waktu sudah menunjukkan pukul 15.20, namun Silvi belum datang juga untuk menjemputku. Aku berulang kali menghubungi handphonenya sejak pukul 3 tadi, namun yang ada hanya jawaban dari veronika di seberang sana. Aku mulai panik, air mata yang tadi sudah tertahan tiba-tiba tumpah lagi, aku takut tidak bisa datang tepat pukul 4 disana. Aku duduk di teras rumah menunggu Silvi datang. Tepat pukul 15.40 Silvi datang. Aku segera berlari menuju mobil Silvi.
“Maaf ya Nan aku telat, tadi Bunda minta diantar ke dokter gigi dulu, maaf banget ya. Udah dong jangan nangis lagi,” ucap Silvi dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Iya. Ngebut ya Vi. Ini demi persahabatan kita. Kamu gak mau kan aku dan Tasya jadi musuhan?”
“Iya..iya.. tenang yaaa.”
            Aku makin panik, sebab jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 15.55.
“Aduuuuuuuuh macet Nan!!” keluh Silvi sambil memukulkan tangannya pada stir mobil.
“Ya ampun Vi, gimana ini??” ucapku sambil gemetar.
“Kita parkir mobil kita di supermarket depan aja ya? terus kita jalan kesana gimana?” tawar Silvi.
“Ya pokoknya lakuin apapun supaya kita bisa sampai disana tepat pukul 4!”
Silvi membelokkan mobilnya ke arah mall yang tidak jauh dari tempat tujuan kami. Seusai parkir, kami segera berlari menuju tempat tersebut.
            Setelah berlari kurang lebih 250 meter, akhirnya kami sampai ditempat itu. Kulirik jam tanganku, pukul 16.08. Oh tidak, pasti Tasya tidak akan memaafkanku. Aku patah arang, lalu jatuh berlutut dan menangis.
“Meja No.9, ayo cepat kesana, siapa tahu Tasya masih ada, kita baru telat 8 menit kok!” desak Silvi yang masih terengah-engah karena lelah berlari mengejar waktu.
Aku mengangguk dan segera berlari menuju meja bernomor 9 yang dimaksud. Ternyata dimeja itu tidak ada siapa-siapa, aku terduduk lalu mengirim sms pada Silvi untuk segera datang ke meja itu. Aku sadar, Tasya sangat membenci orang yang tidak tepat waktu. Ia pasti marah dan meninggalkan tempat ini. Dan artinya ia tidak akan memaafkanku, oh Tuhaaaaan.
“Apa salahku Sya?” tanyaku berbisik sambil menitikkan air mata yang dua hari ini terus jatuh dari tempatnya. Saat aku sedang menangis, tiba-tiba seorang pelayan datang menghampiriku.
“Maaf Mba, saya pesannya nunggu teman saya dulu ya,” jelasku pada pelayan itu.
“Oh, bukan Mba. Itu ada yang menanyakan Mba,” ucap si pelayan sambil menunjuk ke arah belakang tubuhku.
Aku menoleh kebelakang, dan aku begitu terkejut.
Happy birthday Nanda,” ucap Tasya dan Silvi sambil membawa kue tart kesukaanku.
“Tasya? Silvi?” aku menangis lagi, namun kali ini bukan menangis bersedih melainkan tangis haru dan bahagia. Aku saja benar-benar lupa kalau aku sedang berulang tahun hari ini. Ya Tuhan.
Aku meniup lilin, lalu memeluk mereka.
“Kamu udah maafin aku Sya?” tanyakku.
“Maafin? Kayanya aku deh yang mau minta maaf sama kamu.” jelas Tasya sambil tertawa geli bersama Silvi.
“Maksudnya?” aku bingung.
“Maaf udah ngerjain,” jawab Tasya dan Silvi kompak.
“Iiiiiiiiih ngeselin!”
Aku memeluk mereka. Aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan sahabat yang begitu baik seperti mereka.
“Eh, kita masih punya kejutan loh! Liat deh,” ucap Tasya sambil menunjukkan sekelompok orang yang datang ke arah kami.
“Ayah? Bunda? Abang? Waaaaah kalian juga ada dibalik skenario ini?”
“Selamat ulang tahun Nak,” ucap Ayah dan Bunda sambil menciumku.
“Selamat ulang tahun gendut!” ucap Abang sambil menjitakku.
One more Nan! See there!” Silvi angkat bicara.
Aku mengalihkan pandanganku dan terpaku pada sosok lelaki tampan yang tak asing bagiku. Rambutnya yang rapi dengan postur badan tegap, muka lonjong dan hidung mancung itu telah cukup lama mewarnai mimpi disetiap malamku. Dia Fatir, cowok yang selama ini aku kagumi.
Happy birthday,” ucap Fatir pelan.
“Iya thanks,” balasku gugup.
“Ciyeeeeeeeeeeeee...,” ledek Tasya dan Silvi sambil menyenggol bahuku.
Aku bahagia, sangat bahagia. Ternyata apa yang aku pikirkan tentang mereka selalu benar, mereka adalah sahabat terbaik sepanjang masa yang pernah aku miliki. Tidak pernah mengeluh dan selalu ada untukku, termasuk pada hari ini, merekalah orang yang paling berjasa dalam mengesankan ulangtahunku. Dan aku, sangat menyayangi mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar